Ads 468x60px

twitter facebook google pluslinkedinrss feedemail

Jumat, 01 November 2013

26. Review Buku : 30 Hari Keliling Sumatera


Sumber dari SINI.
Bagiku, lawatan kali ini seperti menakar kemampuan diri sekaligus uji coba menjadi sembuh. (hlm. 9)
Jodoh memang tak bisa ketahui jalannya, walaupun terkadang bisa diatur.(hlm. 35)
Apa yang terlintas pertama kali saat mendengar kata SUMATRA?!? Aceh dikenal dengan serambi mekkahnya, Palembang dengan kuliner mpek-mpeknya, Lampung dengan gajahnya, Padang dengan rendangnya, dan lain-lain. Lewat tulisan Ary Amhir dalam buku ini kita akan diajak menelusuri Sumatra lebih dari itu.
Buku traveling ini tidak menjabarkan nikmatnya kuliner atau indahnya jalan-jalan yang selama ini banyak kita temui dalam buku traveling pada umumnya. Perjalanan yang dialami penulisnya ini lebih memuat unsur kehidupan atau budaya masyarakat lokal.
Dimulai dari perjalanan Menuju Pariaman, menghadiri undangan pernikahan temannya, Lisa. Kita akan diajak menguak budaya Pariaman. Dalam adat Pariaman, calon pengantin perempuan menjadi orang pertama yang mencicip makanan yang dimasak dari dapur. Ini maknanya untuk menjaga kesucian calon pengantin perempuan. Kita sering mendengar perihal mengapa lelaki Pariaman ‘dibeli’ dalam pernikahan.
Lelaki yang dipinang dengan sejumlah uang –khusus di Pariaman dan Padang- ini akan menghidupi dan menjaga istri dan keluarganya. Dia akan memberi istrinya keturunan yang bakal melestarikan orang-orang Pariaman. (hlm. 30)

Ah, andai kita paham adat Minang dengan perspektif yang lain, kita temukan juga indahnya. Apalagi kalau kita mampu membaca makna yang tersirat.(hlm. 32)
Banyak pengetahuan tentang budaya lokal yang dapat kita dapatkan dalam buku ini:
  1. Orang minat menganut prinsip matrilineal, adat yang diatur menurut garis keturunan ibu. Ini berarti perkawinan harus dilakukan dengan kelompok lain atau disebut perkawinan eksogomi. Ini juga berarti ibu memegang peranan penting dalam pendidikan, pengamanan kekayaan, dan kesejahteraan keluarga. Hal ini semata-mata dilakukan sebagai jaminan hidup keturunan suku. Bukan karena mau menang sendiri atau serakah. (hlm. 27)
  2. Asal muasal nama Minangkabau, dulu ada utusan Majapahit yang hendak menaklukkan Kerajaan Minangkabau. Dia menantang orang Minang adu kerbau dengan taruhan seluruh isi kapalnya. Tantangan ini diterima oleh Datuk Katumanggungan dan Datuk Parpatih Nan Sabalang. Mereka mempertaruhkan kerajaan Minangkabau jika kalah. Dua datuk menang. Akal dan kecerdasan selalu bisa menaklukkan kekuatan fisik. (hlm. 46)
  3. Dalam bahasa Melayu, medan berarti tempat berkumpul atau palagan. Karena disitu dulu menjadi tempat pertemuan masyarakat dari berbagai daerah, mulai Hamparan Perak, Sukapiring, Binjai, dan lainnya untuk berdagang dan berjudi. (hlm. 73)
  4. Sejak 1877 Langkat diakui Belanda sebagai kesultanan sendiri. Konon, nama Langkat diambil dari nama pohon yang tumbuh subur di sana. Pohonnya tinggi mirip pohon langsat, tapi buahnya pahit dan kelat. (hlm. 98)
  5. Bukittinggi memang pantas digelari Paris van Sumatra. Ada triarga di sana: Gunung Marapi, Singgalang, dan Sago. Belum lagi ke-27 bukit yang mengepung bukit tertinggi ini. Sudah dingin hawanya, asri pula pemandangannya.
  6. Di Little India Penang, geliat kehidupan ala India baru dimulai saat malam menjelang. Perempuan bersari lalu lalang keluar-masuk toko dan restoran. Udara pun dipenuhi aroma masakan berkari. Dan tentu saja, alunan musik India membahana, meramaikan suasana. (hlm. 92)
  7. Masjid Raya Al-Mashun. Butuh tiga tahun bagi Th. van Erp menyelesaikan pembangunan masjid megah ini. Sejak 21 Agustus 1906 hingga 10 September 1909, dengan dana satu juta gulden.
  8. Museum Karo Lingga. Museum mungil berbentuk rumah adat Haru itu dijaga oleh seorang anak  kelas 5 SD. Rupanya dia menggantikan sang ibu yang sedang ke ladang. Tak banyak koleksi museum. Hanya pakaian adat Karo, alat musik tradisional, perangkat rumah tangga, dan aneka topeng yang digunakan dalam perayaan tradisional. (hlm. 110)
Banyak orang Melayu yang terusir ke tepian. Semakin banyak pendatang, khususnya dari Jawa dan bagian lain Sumatra, di Langkat. Di Tanjung Pura sendiri, ekonomi didominasi pendatang dari Aceh, Padang, dan Cina. Danorang-orang Jawa serta Batak menguasai bidang pertanian. Apa yang terjadi dengan orang Melayu asli?
Sawit Sang Idola menjadi ulasan paling favorit. Belantara Sumatera sudah menipis. Kebun-kebun karet dan persawahan berganti wajah menjadi kebun sawit. Yang membuat ngilu, sawitisasi dilakukan dengan segala cara. Di antaranya dengan membabat hutan lindung, menggunduli belantara Sumatera sampai nyaris plontos. Di musim hujan langganan banjir, saat kemarau rawan kebakaran hutan.
Sungguh berbeda kondisi bertanam sawit dengan karet. Karet tak butuh pemeliharaan khusus sebelum bisa dipanen. Ketika mulai menghasilkan getah pun, pemilik karet tak dituntut memiliki buruh penyadap getah. Dia bisa menyadap karet sendirian sesuka hatinya. Tak disadap pun, getah karet tak membusuk atau berkurang. Lain halnya dengan sawit. Jika tak dipanen, buah sawit akan membusuk. Jika tak dipupuk, pohon sawit tak berbuah.
Jika kita menelusuri jalanan Sumatra, kita akan disuguhi perkebunan sawit dan karet. Masyarakat pada umumnya, sangat bergantung dengan dua komoditas tersebut. Selain tidak butuh proses yang rumit, hasil yang dihasilkan pun menggiurkan. Sekali panen, pendapatan yang dihasilkan bisa jauh berkali lipat dibandingkan dengan yang bekerja di kantoran. Makanya, tak jarang kasus perebutan lahan menjadi sorotan utama.
“Hanya bertanam karet yang kami mengerti karena sudah turun-temurun. Kalau sawit kami tak paham. Orang trans yang biasa tanam sawit di sini.” (hlm. 241)
Tiga puluh dua bab yang disajikan untuk mengupas Sumatra lebih dalam. Naik Kereta Api Kelas Duamenjadi penutup yang apik.
“Jangan bayangkan kereta api di Sumatraseperti di Jawa.” (hlm. 268)
Riwayat kereta api di Sumatra tidaklah sekomunal di Jawa. Di Jawa, kereta api sengaja dibuat sebagai alat transportasi massal, mengangkut orang dari satu tempat ke tempat lain. Sedangkan kereta api di Sumatra tak bisa dipisahkan dari keberadaan perkebunan dan tambang batubara sejak masa kolonial Belanda. Di bumi Andalas ini, manusia kalah pamor dengan hasil tambang atau kebun. Manusia hanya warga kelas tiga yang tak menghasilkan banyak keuntungan.
Seandainya foto-foto yang dimuat dalam buku ini ditampilkan berwarna, tentunya menjadi nilai plus. Selamat menikmati rasa Sumatra ala Ary Amhir ini… (´⌣`ʃƪ)
“..hanya roh jahat saja yang melekat pada manusia dan menyebabkan penyakit. Jadi kita harus menjaga diri, hati, dan perbuatan.” (hlm. 135)
Keterangan Buku:
30 Hari Keliling Sumatra
Karya Ary Amhir
ISBN: 978-979-1701-05-1
Penyunting: Salahuddien Gz
Penggambar Sampul: Iksaka Banu
Harga: Rp 55.000,-
Tebal:  284 halaman

Cara Pemesanan Buku :

Kirim SMS / WA di 081393725615. Tuliskan Judul dan jumlah pesanan, Nama & Alamat lengkap. Tunggu balasan SMS / WA untuk keterangan selanjutnya.

Atau Pesan Buku via Inbox FB : EKO WALUYO

Baca Juga Artikel Terkait Lainnya:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar