Pada tahun 1454 Masehi, seorang saudagar Tionghoa mempersembahkan putrinya nan jelita, Siu Ban Ci, kepada Bhre Kêrtabumi, putra mahkota Majapahit. Penguasa yang menggandrungi wanita-wanita cantik itu langsung tergoda dan menyelirnya, tanpa mengindahkan nasihat Sabda Palon, punakawannya yang sakti dan setia. Melalui mata batinnya, Sabda Palon melihat bahwa lantaran Putri Cina itulah kehancuran Majapahit kelak bakal terjadi. Karena api cemburu Putri Champa Dewi Amaravati, Siu Ban Ci dibuang ke Palembang saat sudah hamil tiga bulan.
Enam bulan kemudian, seperti sebuah pertanda dari semesta, hujan badai melanda Palembang dan Majapahit tatkala janin Siu Ban Ci lahir ke dunia. Sungai Musi dan Brantas meluap seketika. Banjir besar terjadi di Sumatra dan Jawa pada saat yang sama. Malam berikutnya, ketika air bah belum juga surut, di angkasa bulan tampak lebih besar dari biasanya. Sebutir bintang bersinar terang tepat di dekat rembulan. Pada hari berikutnya, matahari tampak redup. Tiada mendung di angkasa, namun matahari seolah kehilangan dayanya. Para pandhita Siwa Buddha melihat sebuah tengara zaman baru: Surya Majapahit bakal pudar, digantikan Bulan dan Bintang. Ajaran leluhur bakal sirna, digantikan ajaran baru dari tanah Arabia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar