Gatholoco
adalah lambang Lelaki Sejati, ia yang mampu memahami proses penciptaan
manusia melalui lingga dan yoni, yang menjadi penyebab turunnya ruh ke
bumi. Lelaki Sejati adalah ia yang sanggup mengendalikan segala anasir
di dalam dirinya. Buku ini menceritakan kembara Gatholoco menaklukkan
lima wanita yang merepresentasikan unsur-unsur halus di dalam diri
manusia: Rêtna Dewi Lupitwati (yoni/kundalini), Mlênuk Gêmbuk (memori),
Dudul Mêndut (kesadaran), Rara Bawuk (emosi), dan Dewi Bleweh (pikiran).
Seolah berbicara kepada diri sendiri, Gatholoco kemudian membabar
rahasia ilmu sejati dan ketuhanan dengan bahasa yang memukau dan sarat
makna.
Berangkat dari kisah Gatholoco yang
legendaris, Damar Shashangka berikhtiar untuk menyuguhkan kembali
Filsafat Lingga Yoni, ajaran kuno yang nyaris sirna dari bumi Pertiwi.
Dengan jernih ia mengulasnya melalui bahasa tiga tradisi spiritual yang
berkembang di Nusantara: Tasawuf Islam, Siwa Buddha, dan Kejawen.
Meski terus-menerus dipinggirkan dan
dicap dengan berbagai stigma yang tidak mengenakkan sepanjang 500 tahun,
semangat pencarian spiritual para pribumi Jawa di sana-sini terus
menggeliat dalam ritme yang dinamis. Paham kaum puritan yang ortodoks
dan kaku bagaikan menyodorkan baju besi kepada masyarakat. Jangankan
untuk bergerak bebas, untuk bernapas pun susah.
Semenjak awal, masyarakat Jawa bebas
berekspresi dalam ranah spiritual. Ekspresi kebebasan ini bisa ditemukan
dan dilakukan dalam dua tradisi spiritual yang berasal dari India:
ajaran Weda dan Buddhisme. Keduanya hadir ke Nusantara dengan
menyodorkan wadah yang longgar. Kebebasan ini berpuncak pada pola
sinkretis yang dikenal sebagai ajaran Siwa Buddha, atau cukup disebut
agama Buda saja. Menyadari inti spiritual adalah titik berat yang memang
menjadi acuan utama dua tradisi spiritual dari India tersebut.
Sehingga, penghayatan orang Jawa terhadap dua ajaran itu menjadi tampak
berbeda dan tak lagi terkesan India-sentris. Penghayatan yang bebas
semacam itu selama berabad-abad dipandang absah dan tidak
dipermasalahkan.
Menilik dari bahasa yang digunakan
penulis Sêrat Gatholoco, karya sastra kontroversial ini lahir di
pengujung abad ke-19, ketika Sastra Jawa Baru begitu marak serta
mencapai bentuknya yang cukup stabil. Jika kita membicarakan Sastra Jawa
Baru, mau tidak mau kita harus berpaling kepada sosok Raden Ngabehi
Ranggawarsita (15 Maret 1802 – 24 Desember 1873) sebagai seorang
pujangga besar Sastra Jawa Baru. Tak berlebihan pula jika ada kecurigaan
bahwa sêrat tersebut ditulis olehnya.
Tak pelak, kehadiran Sêrat Gatholoco
sangat mengguncang tatanan mainstream yang mencengkam kuat masyarakat
Jawa kala itu. Selain penuh kritik pedas, sarkasme, dan pemikiran yang
berani, dasar-dasar filsafat Lingga Yoni, yang nyaris sirna di ranah
publik Jawa, dimunculkan kembali olehnya. Nama tokoh utama yang
ditampilkan dalam sêrat ini, yaitu Gatholoco, sudah cukup kuat untuk
mengindikasikan adanya muatan filsafat Siwais dan Tantris. Gatho secara
literal berarti alat kelamin dan loco berarti kocokan. Gatholoco bisa
diterjemahkan secara literal sebagai “alat kelamin yang dikocok”. Sebuah
nama yang tabu dan jorok dalam alam pemikiran Jawa Baru kala itu. Nama
yang terkesan mengandung semangat pemberontakan kepada kemapanan. Nama
yang “najis” dan bisa dicap “kufur” oleh kaum puritan.
Sêrat ini juga penuh ungkapan sufistik
yang mendalam. Sang penulis rupanya memberikan sentakan kesadaran dari
dua sisi sekaligus, sisi yang sarkastik dari filsafat Lingga Yoni dan
sisi yang relatif lebih bisa diterima kalangan sufi. Pemahaman sufistik
sang penulis tampak jelas di sana-sini. Ungkapan-ungkapan khas seperti
Roh Ilapi (Ruh Idlafi), Nur Mukamad (Nur Muhammad), Johar Awal (Jauhar
Awwal), Makripat (Makrifat), Tokid (Tauhid), Mukamad Majaji (Muhammad
Majazi) dan Mukamad Kakiki (Muhammad Hakiki), dll., seperti taburan
bunga-bunga nan indah di dalamnya.
Sêrat Gatholoco merupakan refleksi
kemuakan dari mereka yang terus-menerus melihat kekakuan dalam kehidupan
beragama; refleksi kemuakan dari mereka yang melihat betapa kebebasan
manusia untuk berekspresi tertindas oleh dogma yang kaku, yang
menciptakan sosok Tuhan yang haus darah dan intoleran, yang melahirkan
sikap-sikap eksklusif dan tak ramah. Sêrat Gatholoco hadir untuk
menyentak kesadaran kita bahwa ruh agama adalah spiritualitas. Dan
spiritualitas itu bersifat dinamis, penuh toleransi, dan semestinya
mengembangkan Kasih (Rahmah) di dalam diri manusia.
Di bagian akhir, sang penulis Damar
Shasangka menyarikan ajaran Aji Asmaragama dari beragam kitab kuno. Aji
Asmaragama adalah pengetahuan olah asmara yang membahas cara mencapai
kepuasan jasmani dan ruhani dalam sanggama,
beberapa aji untuk memikat hati wanita dan memberikan kenikmatan
kepadanya bahkan tanpa bersentuhan, sejumlah sarana dan ramuan untuk
meningkatkan kualitas hubungan badan, serta metode spiritual untuk
memperoleh keturunan sesuai yang diharapkan.
Cuplikan GATHOLOCO Rahasia Ilmu Sejati dan Asmaragama
Panasnya sebuah persanggamaan, di Sêrat Nitimani dituangkan dalam kalimat puitis seperti di bawah ini :
Kalamun pastha purusha, wus kiyêng kiyêt santosa, kwehning saya wus samêkta, iku nulya katindakna, umangsah ing rananggana, sayêkti datan kuciwa, katêmpuh ing bandayuda. Nanging ta dipun prayitna, ing tindak aywa sêmbrana, nggone bakal nuju prasa, mring wanita mêngsahira. Supaya lêganing driya, wruh antawisipun waspada, jroning pasti kono ana, musthikaning rasa mulya, rinêksa para jawata, karan Sang Hyang Watapatra, utawa Sang Hyang Gambira, dumunung wuri Purana, yen tinêmpuh dening gada, watak kêri prasanira. Nuli babantune prapta, pipingitan ing jro bhaga, ingaran Sang Hyang Asmara, asisilih Sang Hyang Cakra, kang abipraya sarosa, wimbuh kêri nggrimingira, anarik daya ayunya, mring Sang Hyang Purnama sangka utama Sang Kamajaya. Pameting rahsa mangkana, srana ngagêm mawi sraya, pratingkah ukêling Pastha. Kacarita solahira, duk marwani lumaksana, karya pupucuking yuda, kwehning daya saniskara, aywa sinêrusa rosa, ing tindak kêdah saronta, pangangkah amung muriha, kêri prasaning wanita. Kalamun wus sawatara, campuh ing prang lama-lama, papalu tumêmpuhira, pinindha upama gada, tinangkis ing bondabaya. Saking rosaning panggada, kuwating panangkisira, wêkasan mêtu dahana, mubal sumundhul ngakasa, susumuke ngêmu pega, kukus katut samirana, prapta tumanduking prasa, kêkêrining mêngsahira, gumriming saya andadra.
GATHOLOCO: Rahasia Ilmu Sejati dan Asmaragama“Manakala pastha purusha, sudah memanjang teguh sentosa, dan segala kekuatan sudah sedia, maka bergeraklah, maju menuju rananggana (medan tempur), tak akan menemui kekecewaan, jika terjun dalam bandayuda (peperangan). Namun tetaplah waspada, jangan ceroboh dalam tingkah, ketika hendak mengarah rasa, dari wanita musuhmu. Agar terpuaskan dalam jiwa, maka ketahuilah dan waspadalah, bahwa telah ada dengan pasti, sebuah mustika rasa yang mulia, yang dijaga para dewata, yang disebut Sang Hyang Watapatra, atau Sang Hyang Gambira, yang terletak di belakang purana, jika dihantam dengan gada, akan terasa geli. Jika sudah terkena gada maka bala bantuan akan datang, yang datang dari tempat tersembunyi di dalam bhaga, berjuluk Sang Hyang Asmara, berganti wujud menjadi Sang Hyang Cakra, kuat dan tangguh, maka bertambah-tambahlah geli menggeletar, menarik daya kecantikan, dari Sang Hyang Purnama perwujudan utama Sang Kamajaya. Untuk mendapatkan rasa yang sedemikian, dengan sarana, tingkah cekatan sang Pastha. Dikisahkan tingkahnya, ketika memulai berjalan, sebagai pucuk pimpinan prajurit, haruslah segala kekuatan bergerak secara perlahan, jangan terlalu kuat, bergeraklah dengan sabar, cukup agar menciptakan geletar, gelinjang rasa wanita. Manakala sudah beberapa waktu, lama-kelamaan di dalam peperangan, hantamkan palu, yang bagaikan gada, namun ternyata dapat ditangkis dengan bandabaya (tameng). Begitu kuatnya ayunan gada, juga kuatnya tangkisan, memunculkan api, yang bergulung menggapai angkasa, hawa panasnya menciptakan mega, asapnya terhempas angin, datang mengarah tepat pada rasa, dan gelinjang musuhmu, menggeletar semakin menjadi-jadi.”
Karya Damar Shashangka
ISBN: 978-979-17998-9-8
Penyunting: Salahuddien Gz
Penggambar Sampul: Yudi Irawan
Harga: Rp 69.800,-
Tebal: 400 halaman
Cara Pemesanan Buku :
Kirim SMS / WA di 081393725615. Tuliskan Judul dan jumlah pesanan, Nama & Alamat lengkap. Tunggu balasan SMS / WA untuk keterangan selanjutnya.
Atau Pesan Buku via Inbox FB : EKO WALUYO
Tidak ada komentar:
Posting Komentar