Ads 468x60px

twitter facebook google pluslinkedinrss feedemail

Selasa, 08 Oktober 2013

15. Pengantin Surga




“Berkali-kali aku berdecak kagum atas keindahan terjemahan kisah abadi ini. Berkali-kali pula aku menahan napas dan air mata tatkala membacanya.”
—Khrisna Pabichara, penulis novel Sepatu Dahlan

“Kitab agung yang diterjemah dan disunting dengan sangat indah ini sungguh mampu menembus hakikat cinta para sufi.”
—Damar Shashangka, penulis novel Sabda Palon

“Pengantin Surga” (yang naskah aslinya berjudul “Layli o Majnun”) sesungguhnya merupakan kisah cinta klasik yang dikisahkan dari mulut ke mulut di tanah Arab sejak Dinasti Umayyah berkuasa (661-750 M). Diyakini oleh beberapa kalangan roman ini didasarkan pada kisah nyata tentang seorang pemuda bernama Qays putra Al-Mulawwah, penguasa Bani Amir di Arabia.


Ada banyak versi cerita pada masa itu. Dalam salah satu versi, Qays menghabiskan masa mudanya bersama Layla di tenda mereka. Dalam versi yang lain, Qays hanya memandang Layla dan langsung jatuh cinta kepadanya dengan cinta yang membuatnya pikun kepada dunia. Betapapun, ada sebuah persamaan dalam masing-masing versi: Qays berubah menjadi gila karena cintanya kepada Layla; karena alasan itulah ia disebut “Majnun”, yang berarti “gila”. Melalui kisah itulah kemudian syair-syair Arab, yang berbicara tentang romantika cinta Majnun dan kesetiaan Layla yang menggetarkan, digubah.

Kisah tentang Layla dan Majnun sangat menginspirasi para penyair Arab, khususnya kaum sufi, karena sosok Layla menjadi simbol yang merepresentasikan Yang Terkasih, dan sosok Majnun merepresentasikan seorang pencinta. Dalam tradisi sufi, hubungan antara pencinta dan Kekasih, juga antara hamba dan Tuhan, hanya bisa terjalin melalui cinta (mahabbah).
Dari tradisi lisan kisah tersebut kemudian merasuk ke dalam khazanah sastra Persia, dan Nizami Ganjavi menuliskannya pada abad ke-12 dalam bahasa Persia. Dalam versi Nizami, Qays dan Layla sama-sama jatuh cinta ketika keduanya bertemu di sekolah tempat mereka menuntut ilmu bersama. Namun kemudian, mereka terpisah karena ayah Layla tidak menyetujui hubungan mereka. Dalam perjalanan, Layla dinikahkan secara paksa oleh ayahnya dengan lelaki yang bernama Ibnu Salam. Namun Ibnu Salam tak pernah bisa menjamah keperawanan Layla—yang senantiasa bersetia kepada Qays hingga akhir hayatnya. Sementara itu, Qays kemudian berubah menjadi gila hingga ia lebih terkenal dengan sebutan “Majnun”. Ia kehilangan unsur kemanusiaan di dalam dirinya (jadzab), berkawan dengan binatang-binatang rimba, dan jiwanya sepenuhnya lebur ke dalam bayang-bayang kekasihnya.

Kenapa versi yang ditulis Nizami menjadi sangat terkenal dan bahkan mengalahkan versi-versi kisah sebelumnya? Nizami, di samping mempertahankan fakta dan seting utama cerita, memberikan tambahan-tambahan penting ke dalam kisah sebelumnya: panorama di taman, penyerangan Nawfal terhadap kabilah Layla, kunjungan ibu dan paman Majnun, kematian ibu Majnun, kisah tentang pemuda dari Baghdad yang terpesona kepada kepenyairan dan kegilaan Majnun, kematian suami Layla, juga kisah tentang dunia hewan dan renungan ala sufi, yang semuanya itu tidak ditemukan dalam sumber-sumber awalnya di Arab. Sumber-sumber awal tentang kisah Layla dan Majnun tidak dimaksudkan untuk menciptakan sebuah karya seni adiluhung, melainkan hanya merekam syair-syair romantik Majnun yang sangat terkenal di seluruh jazirah Arab.

Selain mempertahankan suasana kehidupan suku Badui Arab, tenda-tenda kabilah di gurun, dan tradisi tribal para penghuninya, pada saat yang sama Nizami juga merasukkan kisah tersebut ke dalam semesta peradaban Persia. Kegersangan dan kekakuan kisah lama dihujani oleh Nizami dengan deskripsi mengenai angkasa bertabur bintang dan matahari yang bersinar, atau rahasia-rahasia terdalam dari jiwa manusia, dalam sebuah bahasa yang luar biasa kaya, penuh dengan citraan-citraan yang mempesona. Nizami membebaskan kisah tersebut dari batasan-batasan peristiwa yang aksidental dengan menaikkannya ke level spiritual dan memperkayanya dengan kecintaannya akan warna, aroma, dan suara, seraya membumbuinya dengan permata, bunga-bunga, anggur, dan bebuahan.

Yang jauh lebih penting dari Nizami adalah pandangannya tentang takdir yang menimpa Layla dan Majnun, yang sangat berbeda dengan pandangan Barat tentang makna “tragedi” dan “penderitaan”. Bahwa tidak terpenuhinya cinta mereka di dunia adalah ciri khas dari mistisisme yang dihidupi Nizami. Laylanya Nizami menyatakan dengan jelas bahwa di dalam cinta, kedekatan yang terlalu dekat sangatlah berbahaya bagi sepasang kekasih.

Dengan demikian, penderitaan para pencinta tidak bisa dikatakan sebagai “tragis”, tidak bisa diinterpretasikan dari sudut pandang moralitas konvensional. Penderitaan pencinta meruntas belenggu sifat kemanusiaan, memampukan mereka untuk bebas dari “diri” yang terikat dengan dunia fana. Kematian adalah pintu gerbang menuju dunia “sejati”, ke rumah yang dihasrati jiwa para pencari, dan Nizami menyingkap hal ini dalam metafora-metafora yang brilian dan dinamis: lilin yang menumpahkan air mata kegetiran; kerang yang menderita karena mengandung mutiara; berlian yang merindu-dendam ingin terbebas dari batu karang tempatnya tidur selama jutaan tahun; mahkota-mahkota mawar mengering menjadi setetes sari mawar yang semerbak dan berharga; Majnun meniadakan “pemakan dalam dirinya”, mengatasi rasa lapar, egoisme, dan kepemilikan, serta membubarkan lapak-lapak perasaan di dalam tubuhnya. Ia menjadi “penguasa cinta” dalam keagungan. Tidak setiap peristiwa jatuh cinta dapat mencapai keadaan mulia ini. “Cinta yang tiada abadi,” tutur Nizami, “hanyalah permainan indra dan cepat punah bagaikan masa muda.”
Tak heran jika Hakim Nuruddin Abdurrahman Jami, penyair Sufi Persia abad 15, yang menulis roman alegoris Yusuf dan Zulaikha, mengungkapkan, “Meskipun hampir semua karya Nizami pada permukaannya tampak sebagai roman, dalam kenyataannya karya-karyanya menampilkan selubung bagi kebenaran-kebenaran hakiki dan pengetahuan ilahi.” Goethe, pujangga besar Jerman, berujar, “Roh agung yang berbicara tentang perhelatan termanis dari cinta yang terdalam, itulah Nizami.”

Melalui Nizami, kisah tersebut kemudian menyebar ke wilayah Turki, Eropa, Afrika, Kaukasus, India, Nusantara, dan mempengaruhi banyak penulis setelahnya, termasuk Jalaluddin Rumi, penyair sufi terbesar. Menurut salah satu sumber, kisah Romeo dan Juliet yang ditulis William Shakespeare pun dipengaruhi oleh karya ini. Kemasyhuran kisah ini memberikan ilham bagi banyak seniman baik pelukis, pemusik, maupun sineas, dalam menciptakan beragam karya seni yang menggambarkan kisah cinta tak terbalas, namun cinta itu sendiri mentransformasikan pencintanya ke dalam persatuan mistik dengan Sang Kekasih.

Karena pentingnya kisah ini sebagai rujukan abadi bagi para peminat sastra, spiritualitas, dan mistisisme, saya mempersembahkan karya terjemahan naskah besar ini kepada Anda. Dalam proses penyuntingan, saya memperhatikan diksi dan rima dalam setiap alinea—dengan tetap merujuk kepada teks aslinya—serta keindahan bahasa yang mengena pada rasa pembaca Indonesia. Semoga berkenan di hati Anda semua.

Pengantin Surga
Karya Nizami Ganjavi
ISBN: 978-979-17998-3-6
Penerjemah: Ali Nur Zaman
Penyunting: Salahuddien Gz
Penggambar Sampul: Yudi Irawan
Harga: Rp 45.000,- 
Tebal: 254 halaman

Cara Pemesanan Buku :

Kirim SMS / WA di 081393725615. Tuliskan Judul dan jumlah pesanan, Nama & Alamat lengkap. Tunggu balasan SMS / WA untuk keterangan selanjutnya.

Atau Pesan Buku via Inbox FB : EKO WALUYO

Baca Juga Artikel Terkait Lainnya:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar