Ads 468x60px

twitter facebook google pluslinkedinrss feedemail

Rabu, 23 Oktober 2013

24. PERANG BALI : Keping Catatan Sejarah yang Hilang

Pada 20 november 1946, di sebuah tempat dekat Desa Marga, Tabanan, para pemuda Bali di bawah pimpinan I Gusti Ngurah Rai terkepung oleh Belanda. Terjadilah yang kemudian dikenal dalam sejarah perjuangan Bali sebagai pertempuran Margarana. Dengan semangat pantang menyerah, I Gusti Ngurah Rai dan seluruh pasukan melakukan perlawanan heroik terhadap tentara Belanda yang jumlahnya lebih besar serta dilengkapi persenjataan serba modern. Saat itu, I Gusti Ngurah Rai beserta seluruh pasukannya gugur di medan laga

Melalui sudut pandang awam mungkin kita menelan saja bulat-bulat bila ada komentar terhadap kekalahan telak ini, bagaimana secara kuantitas maupun kualitas, pasukan yang terdiri pemuda tanpa latihan militer memadai maju ke medan pertempuran dengan hanya senjata hasil serobotan seadanya yang jauh dari canggih. Terlebih lagi jika ditinjau dari segi strategi, Margarana bukanlah tempat yang tepat untuk pilihan lokasi pertempuran.

Namun, yang sedikit miris adalah jika kemudian timbul pertanyaan akan keterampilan militer seorang komandan pasukan TKR Sunda Kecil seperti I Gusti Ngurah Rai. Jendral Purnawirawan A.H. Nasution misalnya, dalam bukunya tentang sejarah perjuangan TNI pernah bertanya : "Apakah tidak sebaiknya Letnan Kolonel Ngurah Rai melaksanakan prinsip perang gerilya: Hit and Run?". Pertanyaan simbolik ini kalau boleh diinterpretasikan bebas mungkin akan berbunyi: Seorang komandan pasukan perang gerilya telah bertindak ceroboh dengan mengabaikan prinsip-prinsip disiplin militer sehingga mengakibatkan sebuah pertempuran yang berakhir menyedihkan. Kendati sejarah kemudian mencatatnya sebagai sebuah kisah patriotik.




Kisah inilah yang diketahui oleh kebanyakan masyarakat baik lokal maupun nasional. Bahwa pertempuran yang dipimpin Pak Rai hanya sekali, dengan mengambil medan dan siasat yang kurang tepat dan hancur tak bersisa. Tidak ada satupun anggota pasukan yang bernama Ciung Wanara itu yang selamat untuk menceritakan apa dan bagaimana yang sebetulnya direncanakan sebagai strategi perang oleh Pak Rai dan pasukannya sekiranya bukan seperti yang diberitakan sebagai "puputan" atau bertempur sampai mati di Margarana itu.

Sebuah memoar yang ditulis oleh letnan I Gusti Ngurah Pindha, berisi detil perjuangan rakyat Bali atas pendudukan Belanda pasca kemerdekaan ini mungkin merupakan satu-satunya dokumentasi yang mampu menjelaskan kenyataan yang sama sekali berbeda. Pak Ngurah Pindha sendiri tengah terpisah dari Pak Rai ketika peristiwa Margarana terjadi. Sehingga memoar ini lebih pada mengungkap perjalanan perjuangan pemuda dan rakyat Bali sebelum jatuhnya peristiwa itu. Memoar sebanyak 6 bab ini ditulis selama 6 tahun,dari 1963 hingga 1968. Setiap bab diselesaikan dalam waktu satu tahun danpernah dimuat secara bersambung di koran lokal Bali pada tahun bersangkutan.Baru pada tahun 1990 catatan pribadi ini diterbitkan dalam bentuk buku dalamjumlah terbatas, setahun sebelum penulis meninggal.

Kirikumi, atau perang gerilya mempertahankan Republik Proklamasi yang dikuasai pemerintah sipil NICA, dikomandoi I Gusti Ngurah Rai berlangsung sementara Pemerintah Republik Indonesia Proklamasi asyik dengan politik diplomasinya sehingga luput dari perhatian dan tanpa dukungan pemerintah setempat, bahkan dimusuhi raja-raja yang menjadi kaki-tangan NICA.

Para pejuang Bali ini terdiri dari komandan-komandan militer terlatih masa pendudukan Jepang. Anggota pasukan sebagian besar adalah mantan anggota PETA, Heiho dan KNIL (Tentara Kerajaan Hindia Belanda) selain pemuda biasa. Pada awal penyerangan, pasukan pun memiliki persenjataan cukup memadai. Mulai dari mitraliur 12,7, bren, sten, bedil, pistol, peluru, pedang hingga berpeti-peti granat di samping bambu runcing dan golok. Para eks shodanco (letnan) dan prajurit PETA ini telah mendapat latihan kirikumi (perang gerilya) setiap malam selama satu setengan tahun. Selain itu, pasukan juga diperkuat dua perwira Jepang yang selalu menyertai Pak Rai: Nyoman Sayan (Hore Uci) dan Bung Ali (kajiwara) yang lari dari kesatuannya dan meilih bergabung dengan pasukan tanah air. Secara keseluruhan, mereka bukanlah pasukan yang bisa dianggap remeh.

Pak Rai sendiri baru bergabung dengan pasukan gerilyawan Bali setelah kembali dari Markas Besar TKR di Yogyakarta sementara para komandannya telah membentuk pasukan-pasukan di berbagai wilayah Bali. Dengan tujuan mengalihkan perhatian musuh serta memudahkan pendaratan pasukan bantuan dari Jawa di pantai barat, pasukan di bawah instruksi Pak Rai bertempur ke sebelah timur sembari mengobarkan semangat rakyat. Sepanjang pertempuran yang memakan waktu 8 bulan itu, pasukan  bergantung sepenuhnya pada rakyat. Untunglah sebagian besar rakyat Bali memihak perjuangan. Banyak yang tidak segan berkorban moril maupun material. Para pejuang itu makan dari nasi dan hasil bumi rakyat yang mendukung perjuangan. Tidak jarang, desa-desa yang ketahuan telah memihak pejuang berakhir porak-poranda dibumihanguskan oleh musuh. Rakyatnya disiksa secara keji.

Salah satu bagian mengharukan ketika membaca kegigihan seorang komandan, letnan Sueca tatkala telah terkepung oleh pasukan Belanda , pada sedikit kesempatan yang ada setelah tidak bersenjata api lagi, mencabut bayonet dan berhasil menikam salah satu serdadu Belanda. Ia masih sempat menusukkan sekali lagi bayonetnya ketika kepalanya dihantam benda keras dari arah belakang. Bahkan, masih melancarkan satu kali lagi tusukan sebelum lambung kirinya ditikam bayonet dan jatuh pingsan. Ketika sadar lagi dalam keadaan ditahan, Sueca memerintahkan dua pemuda yang bersamanya untuk lari sementara ia mengambil kesempatan menghajar seorang musuh untuk merebut senjatanya kendati gagal dan tubuhnya terkena tiga kali tembakan ketika berusaha lari. Satu kali tembakan lagi merobohkan tubuhnya sebelum akhirnya para serdari belanda datang untuk menginjak-injak dan menyeret tubuhnya hingga wajahnya rusak tak berbentuk. Banteng gagah itu mendarat di atas tumpukan bangkai manusia sebelum akhirnya tidak ingat apa-apa lagi.

"God verdome zegt! Hiij kan niet dood!" kata seorang serdadu Belanda. yang artinya, "Bedebah! Dia tidak bisa mati!" adalah komentar untuk kapten Sueca.

Peristiwa itu benar-benar terjadi dan aku tidak melebih-lebihkannya. Sesungguhnya dalam revolusi fisik, di Bali saja kita mempunyai berpuluh-puluh bahkan beratus-ratus pahlawan yang perkasa. Tidak usah kagum pada keberanian Ediie Murphy (seorang prajurit AS yang menjadi pahlawan berkat keberaniannya bertempur di Perang Dunia II) Bali juga memiliki beratus-ratus pahlawan seperti dia, bahkan lebih hebat dari itu, di antaranya: Japa, Sugianyar, Cok Agung, dan masih banyak lagi yang lain yang telah gugur. Dan banyak juga yang masih hidup sampai sekarang.

Secara kebetulan kebanyakan mereka adalah bekas prajurit PETA atau Heiho. Mereka memiliki semangat dan keberanian yang hebat, gabungan dari semangat "BUSHIDO" Jepang dan puputan Bali yang doktrinnya adalah bahwa seorang prajur
it tidak boleh menyerah dalam pertempuran dengan alasan apapun. 

"Kalau pelurumu habis, gunakan bayonetmu! Kalau bayonetmu patah, gunakan tanganmu untuk memukul! Kalau tanganmu patah, gunakan gigimu untuk menggigit! Dan kalau gigimu patah, gunakan matamu untuk mematahkan semangat musuh!”

Dengan gaya bercerita yang mengalir, jauh dari kesan sedang membaca buku sejarah yang kaku, I Gusti Ngurah Pindha membawa kita menyimak sisi lain dari sebuah kisah perang. Memoar perjuangan pasukan ini diwarnai banyak sekali kejadian yang tidak hanya mengharukan, tapi seringkali lucu. Sisi manusiawi para prajurit yang diceritakan apa adanya. Pengalaman yang dianggap mistis seperti burung gagak yang selalu muncul setiap kali ada pasukan Belanda mendekat, atau cerita keajaiban penampakan bulan yang terlihat berwarna merah-putih hingga menghibur dan mengobarkan semangat juang di masa-masa kritis. Ada seorang komandan mortir yang ciut nyalinya kala kebagian tugas memenggal kepala mata-mata, hingga prajurit yang sering kali harus kelaparan karena bergantung secara logistik hanya pada rakyat. Sementara itu, rakyat menanggung penderitaan yang begitu menyedihkan setiap kali ditinggalkan pasukan pejuang yang terus bergerak, kucing-kucingan dengan musuh. Tidak heran pasukan merasa berhutang budi pada rakyat. Menurut catatan ini, barangkali inilah yang menjadi pertimbangan mengapa pasukan Ciung Winara bertahan di Margarana hingga akhir.

Judul buku Perang Bali agak sedikit 'membingungkan' pembaca jika mengingat dalam catatan sejarah resmi yang disebut Perang Bali adalah Perang antara rakyat Bali (lebih tepatnya kerajaan-kerajaan kecil di dalamnya) melawan kolonial Belanda sekitar satu abad sebelum memoar ini ada. Walaupun bisa dibilang perjuangan perang revolusi Bali merupakan perang melawan musuh yang sama sehingga bisa disebut sebagai kelanjutan perjuangan fisik rakyat Bali terhadap kolonial Belanda yang sudah berlangsung ratusan tahun. Di sini, ilustrasi sampul dengan penampilan tentara berseragam PETA itu mungkin cukup mewakili kurun waktu yang dikisahkan oleh buku ini. Sebagai masukan, subjudul yang menyiratkan isi buku lebih spesifik mungkin dibutuhkan.

Judul     PERANG BALI
Penulis      I Gusti Ngurah Pindha 
Tebal     450 halaman
Harga      Rp 75.000,- 
ISBN      978-979-1701-04-4Penerbit        Dolphin

~~~~~~~~~~~~~~~~

Demikian review saya atas buku PERANG BALI, mohon maaf dan koreksi jika ada kekurangan atau kekeliruan.

Jakarta, 23 April 2013
Oleh Lisya Christine Ling

~~~~~~~~~~~~~~~~
Copas dari SINI.

Cara Pemesanan Buku :

Kirim SMS / WA di 081393725615. Tuliskan Judul dan jumlah pesanan, Nama & Alamat lengkap. Tunggu balasan SMS / WA untuk keterangan selanjutnya.

Atau Pesan Buku via Inbox FB : EKO WALUYO

Baca Juga Artikel Terkait Lainnya:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar