Pada tahun 1445 Masehi, atas permintaan Bhre Kêrtabumi, Syekh Ibrahim Al-Akbar berlayar dari Champa menuju Jawa, diiringi Sayyid Ali Murtadlo dan tiga belas santrinya. Mengingat pertumbuhan kaum muslim yang pesat di pesisir Jawa, syekh keturunan Samarqand itu didaulat untuk menjadi petinggi agama Islam di Keraton Majapahit. Tetapi jung Syekh Ibrahim diamuk badai hingga terdampar di pantai Kamboja. Mereka ditangkap prajurit-prajurit Kamboja dan dipenjara oleh rajanya. Kabar perihal nasib rombongan Champa itu akhirnya sampai di Jawa. Dipimpin Raden Arya Bangah, tujuh jung tempur Majapahit, lengkap dengan meriam Jawa dan manjanik, segera meluncur ke Kamboja untuk membebaskan mereka. Pertempuran sengit pun meletus di Prey Nokor.
Dalam pada itu, Sabda Palon dan Naya Genggong, dua punakawan Bhre Kêrtabumi, melihat dengan mata batinnya bahwa trah Majapahit akan lumpuh. Selama lima ratus tahun awan hitam akan menaungi Nusantara seiring datangnya para pengusung keyakinan baru yang bakal mengakhiri kekuasaan Majapahit. Demi menjaga keutuhan Nusantara, Sabda Palon menasihati Kêrtabumi agar mengambil selir dari Kepulauan Wandhan. Keturunan darinyalah yang akan membangkitkan kejayaan trah Majapahit dua ratus tahun kemudian. Raja muda itu pun mengawini Bondrit Cêmara, seorang emban dari Wandhan. Dewi Amaravati, putri Champa permaisuri Kêrtabumi, dilanda cemburu tak tertanggungkan hingga ia berencana membunuh Bondrit Cêmara berikut janin yang tengah dikandungnya.
Melalui narasi-narasi memukau nyaris pada setiap babak, novel ini tak hanya mampu menyatukan keping-keping sejarah masa akhir kejayaan Majapahit yang tercecer dan terpendam, tetapi juga bakal menyihir Anda untuk memasuki Nusantara masa silam. Tidaklah mudah membawa pembaca abad 21 kembali ke abad 15, yang berjejal aroma dupa, kemegahan pura, dan gadis-gadis yang masih bertelanjang dada. Tetapi Damar Shashangka mampu melakukan itu dengan mempesona.
SABDA PALON SERI I: Kisah Nusantara yang Disembunyikan
Karya Damar Shashangka
ISBN : 978-979-16110-5-3Penyunting : Salahuddien Gz, Dita SylvanaPenyelaras Bahasa : Khrisna PabicharaPenggambar Sampul : Yudi IrawanHarga : Rp 75.000,-Tebal : 450 halaman
Sejak Dinasti Ming melarang armadanya berlayar ke luar Cina, ditambah rentannya Majapahit setelah Rani Suhita mangkat pada tahun 1447, perjanjian antara Tiongkok dan Majapahit selepas Perang Paregreg—yang memberikan jaminan keamanan kepada warga keturunan Cina di Majapahit—pun mulai goyah. Haji Gan Eng Cu, pejabat Dinasti Ming untuk kawasan Asia Tenggara yang berkedudukan di Lasêm, berencana menggalang kekuatan prajurit demi keamanan warga keturunan Cina. Bong Swi Hoo alias Sayyid Ali Rahmad diperintahnya untuk menempati daerah Bangêr. Dari sana dia diharapkan bisa menjadi penghubung warga Cina yang tinggal di Jawa sebelah timur dengan Lasêm.
Di sisi lain, Tuban yang semakin makmur menimbulkan kecemasan sejumlah pejabat pribumi Majapahit. Kemakmuran Tuban salah satunya disebabkan oleh kebijakan Adipati Arya Adikara yang memberikan kesempatan kepada orang-orang Atas Angin untuk masuk ke jajaran pemerintahan, termasuk mengangkat Gan Eng Wan, adik Haji Gan Eng Cu, sebagai patih Tuban. Lalu tersingkaplah sebuah desas-desus tentang rencana penyerbuan atas Tuban yang digerakkan oleh beberapa pejabat Majapahit. Namun Adipati Tuban tidak mempercayainya. Tumenggung Wilwatikta meminta tolong kakaknya di Lasêm, Pangeran Wirabraja, untuk menyelisik kebenaran desas-desus itu. Kerusuhan besar pun membayang-bayangi Tuban.
Dalam pada itu, Bhre Kêrtabumi, didampingi dua punakawannya, Sabda Palon dan Naya Genggong, mulai mendapat petunjuk dari sosok misterius yang dipercaya sebagai Roh Nusantara. Petunjuk itu menggiringnya pada pengetahuan tentang hakikat tanah Nusantara, yang dalam penglihatan batinnya pernah menjadi pusat peradaban dunia, dikenal sebagai Ataladwipa. Begitu pula Sayyid Ali Rahmad. Dia memperoleh penampakan gaib yang mahadahsyat. Tanda-tanda perubahan zaman mulai terlihat. Jawa akan berganti wajah. Agama lama bakal sirna digantikan agama baru. Dan Bhre Kêrtabumi dan Sayyid Ali Rahmad adalah dua orang yang terpilih sebagai pengawal perubahan mahabesar yang bakal mengubah wajah dunia.
SABDA PALON SERI 2: Roh Nusantara dan Orang-orang Atas Angin
Karya Damar Shashangka
ISBN: 978-979-17998-2-9
Penyunting: Salahuddien Gz
Pemindai Aksara: Webri Veliana
Penggambar Sampul: Yudi Irawan
Harga: Rp 75.000,-
Tebal: 485 halaman
Jati diri Sabda Palon dan Naya Genggong terkuak perlahan-lahan di hadapan Bhre Kêrtabumi. Meskipun demikian, dua sosok misterius itu masih diselimuti kabut tebal, samar dan tersembunyi. Itu terjadi setelah Bhre Kêrtabhumi mendatangi beberapa petilasan suci: Gunung Kawi, Dharmma Badhyut, Gunung Pawitra, dan Gunung Lawu. Di tempat-tempat itu dia menggelar tapa brata sesuai perintah sosok niskala yang dipercayainya sebagai Resi Agastya, pamomong Nusantara.
Sementara itu, perkembangan Majapahit semakin tidak menentu setelah Raden Kêrtawijaya dinobatkan sebagai raja Majapahit menggantikan Rani Suhita yang telah mangkat. Takhta Tumapêl yang semula dia duduki dilimpahkan kepada adiknya, Raden Kêrtarajasa. Perseteruan diam-diam terjadi antara kakak-beradik itu. Kekacauan pun sengaja disebar di mana-mana.
Pada saat yang sama, Haji Gan Eng Cu dan Adipati Tuban Arya Adikara wafat hampir bersamaan. Tetapi kematian dua tokoh penting tersebut segera mendapat pengganti, seolah sudah ada yang mengatur. Sayyid Ali Rahmad dan Sayyid Ali Murtadlo sama-sama mendapatkan putra yang kelak akan menjadi ulama kenamaan. Sementara Tumenggung Wilwatikta mempunyai putra yang kelak bakal menentukan wajah Islam di Nusantara.
Karya Damar Shashangka
ISBN: 978-979-1701-09-9
Penulis: Damar Shashangka
Penyunting: Salahuddien Gz
Penggambar Sampul: Yudi Irawan
Harga: Rp 75.000,-
Tebal: 458 halaman
Kehadiran Siu Ban Ci membuat semarak hari-hari Bhre Kêrtabumi. Gairah penguasa itu bangkit. Dunia yang selama ini berjalan begitu-begitu saja kini jadi menggairahkan dengan hadirnya sang ayu. Setiap malam Bhre Kêrtabumi butuh bertandang ke kamar pribadi Siu Ban Ci. Siu Ban Ci memang menggairahkan. Pinggulnya lebar, pahanya mulus, pantatnya sintal. Tak bosan-bosan Bhre Kêrtabumi menelusuri setiap jengkal tubuhnya. Tak bosan-bosan dia bermanja-manja dalam gairah di pelukan sang ayu. Tak juga lelah dia tumpahkan kamanya ke dalam yoninya. Sang ayu bak merak muda berbulu warna-warni. Bahkan saat bercinta, dia bak kuda betina yang liar lagi binal. Belitannya bak nagagini, lentur tapi kuat. Belitan yang tak akan pernah bisa lepas sebelum puncak kenikmatan digapai. Gairahnya menolak luruh sebelum dahaga sanggamanya terpuaskan oleh curahan kama. Lenguhan demi lenguhan yang setiap malam meruahi kamar Siu Ban Ci semakin lama semakin membuat penguasa itu lupa diri. Sang acari nyata-nyata mahir mengajari anak asuhnya. Tapi bukan, bukan begitu, Siu Ban Ci sendirilah yang memang mempunyai daya tarik alami. Geliatnya, rintihnya, tawanya, kerlingnya, senyumnya, semua-muanya begitu menggoda tanpa harus dia pelajari lebih dalam lagi. Lelaki mana yang tak akan terpikat jikalau sudah memadu cinta dengan wanita ayu itu di atas ranjang? Para dewa pun sepertinya akan terlena oleh kemolekan tubuhnya. Dan Bhre Kêrtabumi terlarut dalam jerat daya pikatnya. Seperti gula yang larut di dalam air panas, dia pun mulai kehilangan dirinya.
Tidak harus malam hari Bhre Kêrtabumi tenggelam dalam gairah cinta. Kerap kali, ketika Siu Ban Ci lagi mandi, penguasa Kêling itu memerintah seluruh cêthi yang bertugas memandikannya menyingkir. Bahkan seluruh garwa ampeyannya dia suruh keluar. Dia hendak meletupkan hasrat jantannya dengan Siu Ban Ci saat sang ayu itu mandi di kolam kaputren. Tak ada yang berani mengganggu. Tak ada yang berani melanggar perintahnya. Dua insan yang dimabuk asmara itu pun berkecipak-kecipuk memburu kenikmatan berahi di pinggir atau bahkan di tengah kolam. Kolam kaputren bagai dituruni Bathara Kamajaya dan Bathari Kamaratih dari kayangan. Keperkasaan lingga dan kelembutan yoni beradu liar diiringi deru napas memburu.
Kelakuan Bhre Kêrtabumi yang sudah lupa daratan tentu saja membuat cemburu Dewi Amaravati. Tak hanya Dewi Amaravati, semua garwa ampeyan lainnya juga dilanda cemburu. Bhre Kêrtabumi sudah tidak pernah lagi menyambangi mereka saat malam menjelang. Dia hanya ingin kamanya tercurah ke liang kenikmatan Siu Ban Ci. Gairah asmara para garwa ampeyan yang menuntut pelampiasan pun berubah menjadi api kemarahan. Dan api kemarahan itu tertuju kepada Siu Ban Ci belaka!
--------CUPLIKAN NOVEL SABDA PALON IV : REDUPNYA SURYA MAJAPAHIT. Siap meluncur ke pasaran November 2013!
Pendirian Pesantren Ngampel menuai banyak masalah. Beberapa santri berdarah Cina kerasukan dan sakit hingga mati. Melalui bantuan Ki Bang Kuning, seorang mantri sepuh, Sayyid Ali Rahmad bertemu sosok misterius berperut buncit yang memberikan petunjuk untuk mengangkat sembilan yantra yang ditanam Raden Wijaya di sekitar Kali Mas. Jimat-jimat gaib tersebut sengaja ditanam untuk melawan serbuan pasukan Tatar secara niskala.
Sementara itu, I Dewa Têgal Bêsung mendapat pawisik dari Resi Agastya bahwa Dang Hyang Smaranatha, yang dicari-carinya selama ini, bakal menuju Pulau Bali untuk menyucikan kangmasnya, Dalêm Sri Aji Smara Kêpakisan. Di Trowulan, keadaan istana Majapahit memanas setelah Maharaja Kêrtarajasa mangkat saat berburu. Keturunan Kêrtawijaya dan Kêrtarajasa pun saling berebut takhta.
Di Kêling, seorang saudagar Tionghoa membawa putrinya nan jelita, Siu Ban Ci, ke hadapan Bhre Kêrtabumi. Penguasa yang menggandrungi wanita-wanita cantik itu pun tergoda dan menyelirnya, tanpa mengindahkan nasihat Sabda Palon, punakawannya yang setia. Karena kecemburuan Permaisuri Amaravati, Siu Ban Ci dibuang ke Palembang saat sudah hamil tiga bulan. Enam bulan kemudian, seperti sebuah pertanda dari semesta, hujan badai melanda Palembang dan Majapahit ketika janin Siu Ban Ci lahir. Sungai Musi dan Brantas meluap seketika. Banjir besar terjadi di Sumatra dan Jawa pada saat yang sama. Dan Surya Majapahit pun perlahan-lahan sirna.
Asal-usul nama BRAWIJAYA:
Raden Kêrtarajasa (Raja Majapahit Kedelapan) mempunyai abhiseka (gelar) Sri Rajasawardhana. Rajasa adalah abhiseka Ken Angrok. Dengan demikian, Raden Kêrtarajasa ingin menunjukkan kepada kawula serta raja-raja tetangga Majapahit bahwa dirinya adalah trah Rajasa. Namun rakyat Majapahit sendiri malah lebih mengaitkan dirinya dengan sosok Raden Wijaya, Bathara Ring Majapahit Pertama. Itu terjadi ketika rakyat melihat ramainya Ujung Galuh dan Canggu secara mendadak setelah Raden Kêrtarajasa memegang tampuk kekuasaan. Keadaan tersebut mengingatkan mereka pada kenangan sejarah ketika Raden Wijaya memegang kendali atas bumi Jawa di masa lalu. Keramaian terhelat seusai kelengangan akibat peperangan dan karut-marut untuk beberapa waktu. Rakyat pun lebih suka memberikan abhiseka kepada Bathara Ring Majapahit yang baru itu dengan abhiseka tidak resmi: Bhre Wijaya. Bhre berarti penguasa, Wijaya berarti keturunan Raden Wijaya. Dan karena lebih mudah diucapkan dengan Brawijaya, maka semenjak tu, Raden Kêrtarajasa dikenal juga sebagai Prabu Brawijaya.
(SABDA PALON 4: PUDARNYA SURYA MAJAPAHIT; Segera Terbit di Ujung Tahun 2013)!
Cara Pemesanan Buku :
Kirim SMS / WA di 081393725615. Tuliskan Judul dan jumlah pesanan, Nama & Alamat lengkap. Tunggu balasan SMS / WA untuk keterangan selanjutnya.
Atau Pesan Buku via Inbox FB : https://www.facebook.com/eko.waluyo.90281
Kirim SMS / WA di 081393725615. Tuliskan Judul dan jumlah pesanan, Nama & Alamat lengkap. Tunggu balasan SMS / WA untuk keterangan selanjutnya.
Atau Pesan Buku via Inbox FB : https://www.facebook.com/eko.waluyo.90281
Tidak ada komentar:
Posting Komentar